Selasa, 20 Desember 2011

Komplek Candi Gedong Songo, Jawa Tengah

Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi.
Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).

Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C)
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang.

Jarak tempuh

Untuk menempuhnya, diperlukan perjalanan sekitar 40 menit dari Kota Ambarawa dengan jalanan yang naik, dan kemiringannya sangat tajam (rata-rata mencapai 40 derajat). Lokasi candi juga dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dari obyek wisata Bandungan. Berikut daftar jarak tempuh menuju candi ini.
  • Gedong Songo - Ungaran : 25 km
  • Gedong Songo - Ambarawa : 15 km
  • Gedong Songo - Semarang : 45 km


Namanya 'Songo', tapi jumlahnya tidak sembilan
Candi ini diberi nama Gedongsongo oleh penduduk sekitar, dari bahasa Jawa: Gedong (bangunan) dan Songo (sembilan). Candi ini ditemukan pada tahun 1740 oleh Loten, namun tulisan penelitian tentang candi ini sempat dipublikasikan oleh Raffles pada tahun 1804 dengan nama Gedong Pitoe. Barulah pada tahun 1865, Friedrich dan Hoopermans membuat tulisan Gedongsongo. Walaupun sempat disebut dengan Pitoe (tujuh) dan Songo (sembilan), saat ini hanya ditemukan 5 buah kompleks bangunan, 4 yang lainnya entah di mana?

Kompleks candi ini dibangun berderet dari bawah hingga puncak perbukitan di lereng Gunung Ungaran. Hal ini menunjukkan karakter Candi Gedongsongo yang sangat spesifik yaitu sebuah perpaduan antara dua religi yang bersifat lokal dan global. Gunung adalah tempat persembahan kepada roh nenek moyang. Kepercayaan ini merupakan tradisi masyarakat lokal pra Hindu. Sedangkan gunung juga merupakan tempat tinggal dewa-dewa menurut tradisi Hindu yang pada saat itu sedang berkembang secara global mempengaruhi hampir separuh dunia. Tradisi lokal yang biasanya terkurangi perannya oleh tradisi global, ternyata keduanya mampu berdiri setara di Gedongsongo. Kesetaraan tersebut ditunjukkan dengan pemberian arti baru pada situs percandian Gedongsongo yaitu sebagai tempat persembahan roh nenek moyang yang telah menjadi dewa dan ritus itu dilakukan dalam candi. Kenyataan ini dapat dikatakan bahwa masyarakat lokal ternyata memiliki ketahanan budaya yang cukup kuat dalam menghadapi budaya global.

Candi Gedong I.
Yoni di Candi Gedong I
Baiklah, kita memulai perjalanan dari candi yang terletak di paling bawah, yaitu Candi Gedong I. Candi Gedong I dipugar pada tahun 1928 - 1929 oleh Dinas Purbakala Belanda. Di dalam bilik candi, masih dapat dijumpai yoni tanpa lingga. Terdapat relung-relung kosong di dinding luar candi, namun tanpa kehadiran tiga relief: Dewi Durga, Ganesha, dan Agastya. Dari Candi Gedong I ini, saya berjalan naik menuju Candi Gedong II.


Candi Gedong II.
Ada persimpangan di jalur ini, tapi lebih baik Anda memilih jalur kuda saja. Walaupun mungkin banyak ranjaunya, jalur ini lebih singkat daripada mengikuti jalur pengunjung. Namun jika Anda ingin berwisata kuliner atau bermain flying fox, silakan lewat jalur pengunjung. Candi Gedong II memiliki dua buah candi, satu buah candi induk dan yang lainnya adalah reruntuhan candi perwara. Candi Gedong II dipugar bersamaan dengan Candi Gedong II. Bentuknya kira-kira hampir sama dengan Candi Gedong I, hanya saja tidak ada yoninya lagi. Selain itu, relung-relungnya tidak berhiaskan relief seperti pada Candi Gedong I melainkan arca. Ketiga arcanya juga telah tiada. Selanjutnya, saya berjalan menuju ke Candi Gedong III yang letaknya tidak jauh dari sini.

Candi Gedong III.
Berbeda dari dua candi sebelumnya, Candi Gedong III terdiri dari tiga buah candi: satu buah candi induk, satu candi pengiring dan satu candi perwara. Kalau melihat sepintas, rasanya mirip Kompleks Candi Arjuna Dieng, dengan Candi Arjuna sebagai candi induk dan Candi Semar sebagai candi pengiring. Pada candi induk di Candi Gedong III ini masih dapat dijumpai arca Dewi Durga, Ganesha, Agastya pada dinding luar, serta Mahakala dan Nandiswara di kanan-kiri pintu candi. Perjalanan dilanjutkan menuju Candi Gedong IV.

Dapur Belerang, sumber panas kolam air hangat.

Patung Hanoman
Candi Gedong III dan Candi Gedong IV terpisahkan oleh jurang di mana terdapat kolam pemandian air panas. Sebelum turun, Anda sebaiknya berjalan lurus melalui sisi pos karena di penghujung jalan Anda akan menemukan arca Hanoman. Sayang sekali saya tidak ke sana, kelewatan! Saya baru melihat ada arca ini ketika sudah tiba di Candi Gedong IV. Saya malah langsung turun dan melihat dapur belerang yang membuat kolam menjadi panas. Aromanya mirip sama Telaga Warna Dieng, Anda kentut pun tidak tercium karena kalah dengan aroma pekat belerang di sini.

Candi Gedong IV.
Setelah melewati jurang, Anda akan kembali naik ke atas dan berjumpa dengan Candi Gedong IV. Candi ini terdiri dari 12 bangunan yang terbagi 3 subkelompok. Subkelompok pertama terdiri dari candi induk dan 8 candi perwara; subkelompok kedua terdiri dari satu candi perwara; dan subkelompok ketiga terdiri dari dua candi perwara. Oh iya, Candi Gedong III, IV dan V dipugar oleh SPSP (sekarang BP3) pada tahun 1977 - 1983). Sedangkan pada tahun 2009, BP3 memugar candi perwara di Gedong IV ini. Seperti yang tampak pada gambar, Candi Gedong IV memiliki satu buah candi induk yang masih utuh dengan arca Ganesha di salah satu relungnya. Di sekelilingnya tampak reruntuhan perwara dari subkelompok pertama.


Candi induk subkelompok pertama Candi Gedong IV.
Candi perwara subkelompok pertama di depan candi induk.
Candi perwara subkelompok kedua Candi Gedong IV.
Kedua candi perwara subkelompok ketiga Candi Gedong IV.

Yoni di candi perwara subkelompok ketiga Candi Gedong IV.

Entah benar atau tidak, pembagian subkelompok di Candi Gedong IV hanya saya perkirakan. Moga-moga bener.

Candi Gedong V.
Tidak jauh dari Candi Gedong IV, berdirilah kompleks Candi Gedong V. Candi Gedong V terdiri dari dua buah subkelompok yang berbeda ketinggian. Di tanah yang lebih tinggi yaitu subkelompok pertama, terdapat sebuah candi induk yang diapit oleh reruntuhan candi perwara. Kata mas-nya yang bertugas di sini, candi perwara ini akan segera dibangun pada tahun 2012. Di tanah yang lebih rendah yaitu subkelompok kedua, terdapat dua buah reruntuhan candi perwara yang tinggal pondasinya saja.

Reruntuhan perwara subkelompok kedua Candi Gedong V.

Kalau diamat-amati, mulai dari Gedong I hingga Gedong V, kompleks candi tampak makin rumit atau makin megah. Dari satu candi, jadi dua candi, jadi tiga candi, jadi banyak candi. Apakah hal ini terkait dengan ritual Hindu yang berakulturasi dengan agama lokal? Bisa jadi hal ini merupakan keunikan tradisi peribadatan umat Hindu di masa lampau. Bisa jadi ini merupakan simbol, bahwa kehidupan ini dimulai dari bawah dan terus meningkat hingga ke tingkat-tingkat selanjutnya yang lebih tinggi dan lebih rumit tentunya.

Hedeh, hujan pun mengguyur kompleks percandian setelah tiba di Gedong V ini. Untunglah, di dekat situ ada lapangan yang ada rumah-rumahannya. Saya pun bisa berteduh di sana sambil ngliatin anak-anak pramuka yang lagi berkemah di lokasi candi. Sebenarnya, kabut sudah mulai turun sejak saya tiba di Candi Gedong II. Hal ini berarti hawa dingin sudah mulai menusuk-nusuk permukaan kulit.

Setelah hujan mereda, saya pun melanjutkan perjalanan kembali ke Candi Gedong I, sebab pintu keluarnya ada di sini. Kemudian saya menemui mas-mas petugas yang ada di ruang informasi (deket pintu masuk) dan memperoleh informasi mengenai candi ini sekaligus sebuah situs yang berlokasi tidak jauh dari Gedongsongo yang dikenal dengan Candi Asu. Untuk membedakannya dengan Candi Asu Sengi dan Candi Asu (Gana), saya memberi embel-embel Bandungan: jadilah Candi Asu Bandungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar