Sabtu, 24 Desember 2011

Trowulan, Jawa Timur





Bajang Ratu Gate Trowulan.jpg 






















Trowulan - Bekas ibu kota Kerajaan Majapahit
 
Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan nasional yang menghubungkan Surabaya-Solo.

Di kecamatan ini terdapat puluhan situs seluas hampir 100 kilometer persegi berupa bangunan, temuan arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Cina dari abad ke-15. Trowulan dihancurkan pada tahun 1478 saat Girindrawardhana berhasil mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu ibukota Majapahit berpindah ke Daha.

Kitab Negarakertagama menyebutkan deskripsi puitis mengenai keraton Majapahit dan lingkungan sekitarnya, tetapi penjelasannya hanya terbatas pada perihal upacara kerajaan dan keagamaan. Detil keterangannya tidak jelas, beberapa ahli arkeologi yang berusaha memetakan ibu kota kerajaan ini muncul dengan hasil yang berbeda-beda.

Penelitian dan penggalian di Trowulan di masa lampau dipusatkan pada peninggalan monumental berupa candi, makam, dan petirtaan (pemandian). Belakangan ini penggalian arkeologi telah menemukan beberapa peninggalan aktivitas industri, perdagangan, dan keagamaan, serta kawasan permukiman dan sistem pasokan air bersih. Semuanya ini merupakan bukti bahwa daerah ini merupakan kawasan permukiman padat pada abad ke-14 dan ke-15. Trowulan telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009.

Deskripsi berdasarkan sumber kontemporer

Bajang Ratu pada tahun 1929, sebelum dipugar
 
Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Didekatnya terdapat pos tempat para ponggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan.

Masuk ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang dibangun diatas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para tamu yang akan menghadap raja.

Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, bhiksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir.

Sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami.

Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai; "Sebuah tempat dimana kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief candi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, dimana penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola permukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit permukiman seperti ini.

Penemuan

Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Berdasarkan laporan Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan bahwa; 'terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di kawasan ini'. Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa, terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan pulau Jawa'.

Situs Arkeologi

Peta situs Trowulan. Titik merah adalah situs arkeologi, warna biru muda adalah bekas kanal kuna.

Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya sungai Brantas dan aktivitas gunung Kelud. beberapa situs arkeologi tersebar di sekitar desa Trowulan. Beberapa dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.

Candi Tikus

Kolam pemandian Candi Tikus

Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di Trowulan. Nama Candi Tikus diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini.

Gapura Bajang Ratu

Tidak jauh dari Candi Tikus, di kecamatan Keraton berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang Ratu dalam bahasa Jawa berarti Raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat. Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.

Gapura Wringin Lawang

Wringin Lawang, gapura di Trowulan, Mojokerto

Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya 'Candi Bentar' atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.

Candi Brahu

Di kecamatan Bejijong terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, namun bukti fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong.

Makam Putri Cempa

Makam Putri Cempa adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dari Champa. Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam. [1]

Kolam Segaran.

Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama Segaran berasal dari bahasa Jawa 'segara' yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Saat ditemukan oleh Maclain Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan.

Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antar lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, disamping itu kolam ini diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu kerajaan.

Candi Menak Jingga

Di sudut timur laut kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran tengah berlangsung. Keunikan bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China. Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga.

Umpak

Di situs Umpak, terdapat beberapa alas batu tempat memancangkan tiang kayu. Diperkirakan merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik, bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.

Troloyo

Di kecamatan Troloyo ditemukan beberapa batu nisan bercorak Islam. kebanyakan batu nisan berangka tahun 1350 dan 1478. Temuan ini membuktikan bahwa komunitas muslim bukan hanya telah hadir di Jawa pada pertengahan abad ke-14, tapi juga sebagai bukti bahwa agama Islam telah diakui dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit. Penduduk setempat percaya bahwa di makam Troloyo terdapat makam Raden Wijaya, dan setiap Jumat Legi diadakan ziarah di makam ini.[2]

Situs lainnya

Situs-situs penting lainnya antara lain:

Rumah

Penggalian arkeologi mengungkapkan lantai bata dan dinding permukiman. Dalam beberapa kasus ditemukan dua atau tiga lapisan bangunan yang bertumpuk. Permukiman ini dilengkapi dengan sumur dan saluran air. Ditemukan pula tempat penyimpanan air dan sumur yang dibatasi susunan bata dan tembikar.

Industri

Banyak perhiasan emas yang berasal masa ini telah ditemukan di Jawa Timur. Meskipun tidak terdapat banyak tambang emas di Jawa, impor emas dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi memungkinkan pengrajin emas untuk berproduksi dan bekerja di Jawa.
Salah satu kecamatan di Trowulan disebut Kemasan, yang berasal dari kata mas yang berarti emas.

Perhiasan emas serta peralatan pengrajin emas ditemukan di dekat daerah ini. Mangkuk tembikar kecil yang mungkin pernah digunakan untuk melumerkan emas, alas tempa perunggu serta batu rata bundar berkaki tiga yang digunakan sebagai alas untuk menempa dan mengukir logam. Sejumlah besar tanah liat yang digunakan untuk melumerkan dan mencetak perunggu juga ditemukan di dusun Pakis. Beberapa perunggu digunakan untuk mencetak uang gobog, koin besar yang sering digunakan sebagai azimat. Beberapa benda logam lain juga ditemukan, diantaranya lampu perunggu berukir, wadah air, genta, dan benda-benda lain yang mungkin digunakan untuk upacara keagamaan dan instrumen musik gendang perunggu. Benda serupa yang terbuat dari kayu dan bambu masih dapat ditemukan di Jawa dan Bali. Banyak juga ditemukan peralatan besi yang mungkin didatangkan ke Jawa karena Jawa memiliki sedikit tambang bijih besi.

Uang dan Pasar

Celengan tanah liat Majapahit dari abad ke-14 sampai ke-15. Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Nasional Jakarta)

Naskah Nawanatya menyebutkan mengenai pejabat kerajaan yang bertugas untuk melindungi pasar. 'Delapan ribu keping uang tunai tiap harinya' diterima pejabat ini. Uang tunai yang dimaksud dalam naskah ini adalah uang kepeng Cina, yang menjadi mata uang resmi Majapahit sejak tahun 1300, menggantikan sebagian fungsi mata uang emas dan perak yang telah digunakan selama berabad-abad. Uang logam atau koin China ini disukai karena tersedia dalam nilai kecil atau uang receh, sangat cocok untuk transaksi sehari-hari di pasar. Temuan ini menggambarkan perubahan ekonomi di Trowulan yang ditandai dengan munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli. Bukti penting persepsi masyarakat Jawa abad ke-14 terhadap uang tergambarkan dalam wujud celengan babi dengan lubang di punggungnya untuk memasukkan uang logam. Hubungan antara figur babi dengan wadah uang sangat jelas; dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata 'celengan' dapat berarti wadah tepat menyimpan uang atau menabung. Sedangkan akar katanya sendiri 'celeng' yang berarti babi hutan. Wadah uang dalam bentuk lain juga ditemukan.

Tembikar

Seni tembikar adalah kegiatan utama masyarakat Majapahit. Kebanyakan perabot tembikar digunakan untuk keperluan rumah tangga, seperti untuk memasak atau wadah penyimpanan, dengan hiasan terbatas pada bentuk garis-garis cat merah. Lampu minyak kelapa dari tembikar juga umum ditemukan. Tembikar terhalus buatannya umumnya berupa wadah seperti gentong, guci, dan kendi dengan dinding yang tipis, bentuk yang indah, serta permukaan halus berkilau warna merah yang didapat dengan cara pengampelasan baik sebelum atau sesudah pembakaran. Karya tembikar ini dipastikan sebagai hasil karya pengrajin tembikar yang mahir dan profesional. Wadah air adalah produk tembikar urban utama Majapahit dan banyak gentong air bulat ditemukan. Ada pula wadah air berbentuk kotak yang dihiasi motif pemandangan bawah air dan pemandangan lainnya.

Patung tembikar dari tanah liat diproduksi dalam jumlah besar dan menggambarkan banyak hal. Mulai dari figur dewa, manusia, hewan, miniatur bangunan, dan pemandangan. Fungsi pastinya belum diketahui; mungkin memiliki banyak fungsi. Beberapa figur tanah liat mungkin merupakan bagian dari kuil kecil tempat persembahyangan di masing-masing rumah penduduk seperti yang kini ada di Bali. Contoh dari barang tembikar dalam bentuk miniatur bangunan dan hewan juga ditemukan di dekat bangunan suci di gunung Penanggungan. Beberapa figur lainnya merupakan penggambaran yang jenaka atas orang-orang asing dan pendatang di Majapahit, mungkin secara sederhana juga digunakan sebagai mainan anak-anak.

Taman Majapahit

Menjelang akhir tahun 2008, pemerintah Indonesia menyeponsori eksplorasi besar-besaran di situs yang dipercaya sebagai bekas lokasi istana Majapahit. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa Taman Majapahit akan dibangun di kawasan ini dan akan rampung pada tahun 2009. Pembangunan kawasan ini bertujuan untuk mencegah kerusakan situs Trowulan akibat industri pembuatan bata rumahan yang tumbuh banyak di kawasan ini.[3] Taman Majapahit ini memperluas area Museum Trowulan yang telah ada dan menjadi sarana wisata edukasi dan rekreasi yang bertema sejarah Majapahit.

Akan tetapi, proyek ini menimbulkan kontroversi dan mengundang protes dari arkeolog dan sejarahwan, karena pembangunan fondasi bangunan Pusat Informasi Majapahit di situs Segaran sebelah selatan Museum Trowulan, telah merusak situs arkeologi tersebut. Struktur tembok bata dan sumur Jobong yang sangat berharga berserakan dan rusak di lokasi pembangunan. Pemerintah berdalih bahwa metode penggalian yang diterapkan tidak merusak situs jika dibandingkan dengan metode pengeboran.[4] Sejak saat itu pembangunan Taman Majapahit ditunda untuk meneliti dampak pembangunan terhadap situs arkeologi.


Candi

Prambanan, Sebuah candi di Jawa
 
 
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewa ataupun memuliakan buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha atau klasik Indonesia, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.

Terminologi 

"Antara abad ke-7 dan ke-15 masehi, ratusan bangunan keagamaan dibangun dari bahan bata merah atau batu andesit di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Bangunan ini disebut candi. Istilah ini juga merujuk kepada berbagai bangunan pra-Islam termasuk gerbang, dan bahkan pemandian, akan tetapi manifestasi utamanya tetap adalah bangunan suci keagamaan."
— Soekmono, R. "Candi:Symbol of the Universe". [1]
Candi juga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai Dewi kematian. Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan untuk memuliakan Raja Anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.
Penafsiran yang berkembang di luar negeri adalah; istilah 'candi' hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha di Nusantara, yaitu di Indonesia dan Malaysia saja (contoh: Candi Lembah Bujang di Kedah).





Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di Indonesia dan Malaysia, tetapi juga Kamboja dan India, seperti candi Angkor Wat di Kamboja dan candi Khajuraho di India.

Fungsi dan Jenis

Selain itu candi pula berfungsi sebagai:
  • Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha, contoh: candi Borobudur
  • Candi Pintu Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: candi Bajang Ratu
  • Candi Balai Kambang / Tirta: didirikan didekat / di tengah kolam, contoh: candi Belahan dan candi Tikus
  • Candi Pertapaan: didirikan di lereng – lereng tempat Raja bertapa, contoh: candi Jalatunda
  • Candi Wihara: didirikan untuk tempat para pendeta bersemedhi, contoh: candi Sari dan Plaosan
Struktur bangunan candi terdiri dari 3 bagian:
  • Kaki candi adalah bagian dasar sekaligus membentuk denahnya (berbentuk segi empat, ujur sangkar atau segi 20)
  • Tubuh candi. Terdapat kamar–kamar tempat arca atau patung
  • Atap candi: berbentuk limasan, bermahkota stupa, lingga, ratna atau wajra
Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok.
Ada dua sistem dalam pengelempokan atau tata letak kompleks candi, yaitu:
  • Sistem Konsentris (pengaruh dari India) yaitu posisi candi induk berada di tengah–tengah anak–anak candi (candi perwara), contohnya kelompok Candi Prambanan
  • Sistem Berurutan (asli Nusantara) yaitu posisi candi induk berada di belakang anak–anak candi, contohnya Candi Penataran
Suatu candi di masa lampau biasanya berfungsi dan digunakan masyarakat dari latar belakang agamanya, yaitu Hindu-Saiwa, Budha Mahayana, Siwa Buddha dan Rsi.

Bangunan candi terbagi menjadi:
  1. Candi Kerajaan, yaitu yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Plaosan (Jawa Tengah), Candi Panataran di Jawa Timur.
  2. Candi Wanua/Watak,yaitu candi yang digunakan oleh seluruh masyarakat pada daerah tertentu pada suatu kerajaan. Contoh:candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahandi (Tulung Agung, Jawa Tengah), Candi Gebang (Yogya), Candi Pringapus (tulung Agung, Jawa Tengah).
  3. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati,raja Singhasari), Candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, Raja Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk), Candi Tegawangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).

Arsitektur Candi

Pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India Selatan, yang tidak hanya berisi patokan-patokan membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota/desa, dll. Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai (terutama di dekat pertemuan 2 buah sungai, danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, di lembah,dsb. Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Opak dan sungai Progo.

Bahan-bahan untuk membuat candi:
  • Batu Andesit
  • Batu putih (tuff), seperti di C.Ratu Boko, Jateng
  • Bata Merah
Macam-macam denah candi:
  • denah bujur sangkar
  • denah persegi panjang
  • denah lingkaran

 

Gaya Arsitektur

Candi Pawon dekat Borobudur, contoh Langgam Jawa Tengah.
 
 
Gerbang Bajang Ratu di Trowulan, contoh Langgam Jawa Timur.


Soekmono, seorang arkeolog terkemuka di Indonesia, mengidentifikasi perbedaan gaya arsitektur (langgam) antara candi Jawa tengah dengan candi Jawa Timur. Langgam Jawa Tengahan umumnya adalah candi yang berasal dari sebelum tahun 1.000 masehi, sedangkan langgam Jawa Timuran umumnya adalah candi yang berasal dari sesudah tahun 1.000 masehi. Candi-candi di Sumatera dan Bali, karena kemiripannya dikelompokkan ke dalam langgam Jawa Timur.[2]


Bagian dari Candi Langgam Jawa Tengah Langgam Jawa Timur
Bentuk bangunan Cenderung tambun Cenderung tinggi dan ramping
Atap Jelas menunjukkan undakan, umumnya terdiri atas 3 tingkatan Atapnya merupakan kesatuan tingkatan. Undakan-undakan kecil yang sangat banyak membentuk kesatuan atap yang melengkung halus.
Kemuncak Stupa (candi Buddha), Ratna atau Vajra (candi Hindu) Kubus (kebanyakan candi Hindu), terkadang Dagoba yang berbentuk tabung (candi Buddha)
Gawang pintu dan hiasan relung Gaya Kala-Makara; kepala Kala dengan mulut menganga tanpa rahang bawah terletak di atas pintu, terhubung dengan Makara ganda di masing-masing sisi pintu Hanya kepala Kala tengah menyeringai lengkap dengan rahang bawah terletak di atas pintu, Makara tidak ada
Relief Ukiran lebih tinggi dan menonjol dengan gambar bergaya naturalis Ukiran lebih rendah (tipis) dan kurang menonjol, gambar bergaya seperti wayang bali
Tata letak dan lokasi candi utama Mandala konsentris, simetris, formal; dengan candi utama terletak tepat di tengah halaman kompleks candi, dikelilingi jajaran candi-candi perwara yang lebih kecil dalam barisan yang rapi Linear, asimetris, mengikuti topografi (penampang ketinggian) lokasi; dengan candi utama terletak di belakang, paling jauh dari pintu masuk, dan seringkali terletak di tanah yang paling tinggi dalam kompleks candi, candi perwara terletak di depan candi utama
Arah hadap bangunan Kebanyakan menghadap ke timur Kebanyakan menghadap ke barat
Bahan bangunan Kebanyakan batu andesit Kebanyakan bata merah


Meskipun demikian terdapat beberapa pengecualian dalam pengelompokkan langgam candi ini. Sebagai contoh candi Penataran, Jawi, Jago, Kidal, dan candi Singhasari jelas masuk dalam kelompok langgam Jawa Timur, akan tetapi bahan bangunannya adalah batu andesit, sama dengan ciri candi langgam Jawa Tengah; dikontraskan dengan reruntuhan Trowulan seperti candi Brahu, serta candi Majapahit lainnya seperti Jabung dan Pari yang berbahan bata merah. Bentuk candi Prambanan adalah ramping serupa candi Jawa Timur, tapi susunan dan bentuk atapnya adalah langgam Jawa Tengahan. Lokasi candi juga tidak menjamin kelompok langgamnya, misalnya Candi Badut terletak di Malang, Jawa Timur, akan tetapi candi ini berlanggam Jawa Tengah yang berasal dari kurun waktu yang lebih tua di abad ke-8 masehi.

Bahkan dalam kelompok langgam Jawa Tengahan terdapat perbedaan tersendiri dan terbagi lebih lanjut antara langgam Jawa Tengah Utara (misalnya kelompok Candi Dieng) dengan Jawa Tengah Selatan (misalnya kelompok Candi Sewu). Candi Jawa Tengah Utara ukirannya lebih sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit; sedangkan langgam candi Jawa Tengah Selatan ukirannya lebih raya dan mewah, bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata letak yang teratur.

Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia, seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pad Candi Sukuh dan Candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.

Candi Singosari, Jawa Timur

Candi Singosari



Candi Singosari

Arca Resi Agastya

Candi Singhasari atau Candi Singasari atau Candi Singosari adalah candi Hindu - Buddha peninggalan bersejarah Kerajaan Singhasari yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia.

Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti saat ini). Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang) terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512 m di atas permukaan laut. Di Wikimapia [1].

Menurut Negarakertagama

Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal 1351 M di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.

Struktur dan kegunaan bangunan

Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut dwarapala) dan posisi Gada menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan. Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha atau Ganapati sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori. Karena letak candi Singhasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.

Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujursangkar berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.

Pemugaran dan usaha konservasi

Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dalam keadaan berantakan. Restorasi dan pemugaran dimulai tahun 1934 dan bentuk yang sekarang dicapai pada tahun 1936.




Candi Singosari terletak di desa Candi Renggo, Kecamatan Singosari, Kab Malang, Jawa Timur. Bangunan Candi terletak pada sebuah kompleks yang luasnya kurang lebih mencapai 8 hektar. Didalam kompleks itu juga masih tersisa runtuhan bangunan Candi Papak, Candi Ringgit dan sejumlah arca batu. Tetapi letak Candi Papak dan Candi Ringgit tidak satu tempat dengan Candi Singosari. Letak kedua candi tersebut masih 300meter ke arah barat daya dari Candi Singosari.
Untuk sampai ke lokasi Candi Singosari juga cukup mudah. Karena akses jalan untuk mencapai singosari bisa ditempuh dengan kendaraan apa saja. Anda bisa menggunakan angkutan umum atau kendaraan pribadi dengan waktu tempuh dari kota malang kurang lebih 30 menit melalui jalan arah Surabaya-Malang. Candi Singosari di temukan pada awal abad-20 dalam keadaan rusak terutama pada bagian menara candi. Kemudian Candi Singosari dilakukan pemugaran. Tetapi sebelum dilakukan pemugaran candi singosari dibongkar untuk merenovasi bagian yang rusak yaitu terutama bagian atap hingga kaki tetapi karena bagian candi banyak yang hilang pembangunan tidak dapat di lakukan dengan sempurna. Dan dilakukan pembangunan yang ke-2. Dari pembangunan itulah kita dapat melihat bentuk candi seperti yang ada sekarang ini. 

Selasa, 20 Desember 2011

Daftar Candi di Indonesia

Jawa Barat

Candi-jiwa.jpg Candi Jiwa.JPG

Jawa Tengah

1. Kabupaten Magelang

2. Kabupaten Klaten

3. Kabupaten Karanganyar

4. Kabupaten Semarang

 5. Kabupaten Banjarnegara

6. Kabupaten Wonosobo

7. Kabupaten Temanggung

8. Kota Salatiga

Daerah Istimewa Yogyakarta

Jawa Timur

1. Kabupaten Malang

Berkas:Rambut monte 1.jpg Berkas:Rambut monte 4.jpg Berkas:Rambut monte 2.jpg
  • Candi Selakelir
  • Kompleks Percandian Gunung Arjuna
    • Grup Sepilo
      • Bhatara Guru
      • Candi Madrin
      • Patuk Lesung
      • Candi Kembang
      • Candi Lepek
      • Rhatawu
      • Hyang Semar
      • Watu Ireng
      • Rancang Kencana
      • Candi Wesi
      • Makutarama
      • Sepilo
    • Grup Indrokilo
      • Satria Manggung
      • Indrikilo
      • Candi Laras
      • Gua Gambir

2. Kabupaten Kediri

RA 3540021.JPG RA 3540023.JPG RA 3540025.JPG RA 3540022.JPG RA 3540024.JPG RA 3540027.JPG

3. Kota Kediri

4. Kabupaten Nganjuk

5. Kabupaten Jombang

6. Kabupaten Pasuruan

Leco Lanang-3.jpg Reco lanang.jpg Reco lanang 10.jpg Reco lanang 03.jpg Recolanang.jpg

7. Kabupaten Mojokerto

RA 3210022.JPG RA 3210021.JPG
Kedaton temple 01.jpg Kedaton temple 02.jpg Kedaton temple 03.jpg
RA 3210019.JPG RA 3210011.JPG RA 3210012.JPG RA 3210013.JPG

8. Kabupaten Blitar

9. Kabupaten Probolinggo

Candi Kedaton A.JPG Candi Kedaton B.JPG Candi Kedaton C.JPG Candi Kedaton D.JPG Candi Kedaton E.JPG
Candi Jabung A.JPG Candi Jabung B.JPG Candi Jabung C.JPG Candi Jabung D.JPG

10. Kabupaten Tulungagung

RA 3550013.JPG RA 3550014.JPG RA 3550015.JPG
RA 3550031.JPG RA 3550032.JPG RA 3550033.JPG
RA 35500110.JPG RA 3550016.JPG RA 3550017.JPG RA 3550019.JPG
RA 3550021.JPG RA 3550022.JPG RA 3550023.JPG

11. Kabupaten Trenggalek

12. Kabupaten Magetan

13. Kabupaten Sidoarjo

Candi-pari.jpg Pari candi.jpg Candipari.jpg
Candi Sumur.jpg
Candi Pamotan 1.JPG
Candi Dermo.jpg
Tawangalun candi.jpg
Medalem candi.jpg

Bali

Sumatra

Kalimantan

Sulawesi

  • Arca Buddha di Sempaga, Sulsel

Sarawak

  • Arca Ganesha di Sarawak